KERINDUAN PADA SEBUNGKUS NASI PECEL




KERINDUAN PADA SEBUNGKUS NASI PECEL

Sri hindriyastuti



Kupikir ini, banyak hal yang bisa kulihat lebih gamblang,
Setelah berjarak begitu jauh dari rumah,
Dengan engkau
Jarak memisahkan kebauran dan kekaburan
Menciptakan rindu yang telanjang
Hanya sesaat aku tinggal di sini: sebuah daratan
Dengan padang rumput ilalang dan sekumpulan kangguru
Aku melihat engkau seperti sebuah rumah
Yang sudah sangat tua, bertahan dari rongrongan rayap, badai dan angin ribut,
Rumah tua yang hampir ambruk
Seperti beringin besar yang hampir roboh bersama akar-akarnya
Seperti rumah pasir yang diporak-porakkan
Anak-anak nakal
Biarkan rinduku letih dan renta. Pada engkau
Jangan biarkan aku mimpi : daratan asing
Dengan hamparan rumput hijau,
Ratusan biri-biri dan sapi hitam yang merdeka
Aku melihat mukaku yang koyak di permukaan cermin
Di sana. Jangan biarkan!

Oleh: dorothea rosa herliany
Untuk tanah kelahiranku (dr tag Mariamah di FB)

Tadinya, saya tidak begitu mudheng dengan puisi ini, hingga saya terbang di negeri lain., negeri di mana semua mimpi bisa menjadi nyata. Amerika. Negeri yang telah mengajari saya arti sesungguhnya dari sepenggal kata ” Nasionalisme”.
Sebenarnya, apa makna nasionalisme itu sendiri? Secara simpel di mata saya, nasionalisme adalah bagaimana kita bangga dan mencintai apapun tentang Indonesia. Di zaman yang semakin maju seperti sekarang, memasuki abad modern, para pemuda, mulai luntur rasa nasionalismenya kepada Indonesia. Bagaimana tidak, Semuanya melupakan budaya ketimuran, mengagungkan dan menyanjung budaya-budaya barat. Mulai dari cara berpakaian hingga bertingkah laku.Tidak ada lagi istilah ”cinta produk dalam negri”. Akhirnya, banyak kebudayaan Indonesia yang di ambil oleh negara lain. Untuk itulah, sangat penting memupuk rasa kebanggaan terhadap apa yang ada di Indonesia, termasuk budayanya.
Seseorang baru akan mencintai apa yang dimiliki ketika ia telah meninggalkannya. Itu pula pelajaran berharga yang saya dapatkan. Selama di Amerika, tepatnya di Ohio University, saya baru menyadari betapa Indonesia sangat saya rindukan, rasa rindu yang begitu mendalam. Rindu pada apapaun, pada setiap jengkal cerita tentang Indonesia, pada setiap kata apapun tentang Indonesia, negeri kaya raya, gemah ripah loh jinawi. Sebuah negri yang terbentang di garis khatulistiwa, yang memiliki beragam suku, agama, ras, golongan, adat istiadat. Di negeri lain itulah, saya merasakan sebuah kerinduan luar biasa. Rindu pada nikmatnya masakan Indonesia, sebungkus nasi pecel.
Dulu, ketika masih berada di Indonesia, makan nasi pecel atau nasi penyet adalah hal yang biasa-bisa saja, tidak ada istimewanya. Bahkan saya sangat memimpikan bisa makan enak seperti yang sering diiklankan di televisi. Pizza atau fried chicken, atau mungkin hamburger adalah makanan yang sangat ingin sekali cicipi. Sedangkan uang saku bulanan saya waktu itu hanya cukup untuk membeli makanan-makanan murah dan ala kadarnya. Bukan untuk budget makanan mahal seperti humburger, pizza atau sejenisnya.

Beginilah manusia yang tidak bersyukur. Bukannya bersyukur karena masih bisa makan nasi pecel, masih bisa menikmati makanan dengan lahapnya, masih mendapat kesempatan untuk bisa mengecap nikmatnya makan, saya malah iri dengan berbagai hidangan fast food yang seringkali diiklankan di televisi. Hidangan-hidangan yang justru ketika saya di Amerika, saya baru menyadari betapa nasi pecel itu jauh lebih nikmat dari segala bentuk makanan yang ada di negeri adidaya itu.


Sebelumnya, saya tidak pernah menikmati rasa indahnya bersyukur. Bersyukur karena saya masih bisa merasakan makanan setiap hari tanpa kekurangan, walaupun hanya sekedar nasi penyet maupun nasi pecel di pinggir jalan. Saya sama sekali tidak ingat kalau di pinggir-pinggir jalan di kota-kota besar di Indonesia, di kolong-kolong jembatan, banyak pengemis, gelandangan yang kesusahan walaupun hanya untuk mendapatkan makanan sesuap nasi.
Beginilah rasanya ketika jauh dari apa yang selama ini kita anggap biasa-biasa saja. Semua akan terindukan. Begitu berada di Athens-Amerika serikat, atau ketika kita berkunjung ke negara-negara lain, mungkin kita baru menyadari betapa nikmatnya masakan Indonesia. Betapa kita akan rindu sebungkus nasi pecel yang biasa kita beli di pinggir jalan, di warung kaki lima. Betapa kita akan rindu masakan-masakan sederhana khas indonesia yang begitu spicy. Saya sendiri akhirnya berpendapat bahwa masakan Indonesia adalah masakan terbaik di dunia. Meskipun terus terang, belum semua negara saya kunjungi. Tapi yakinlah, bahwa semenarik apapun penampilan makanan yang dihidangkan di negara lain, dalam hal ini Amerika misalnya (karena selama ini Amerika dianggap sebagai negara maju), rasa makanan Amerika benar-benar jauh dari kata ”nikmat”. Saya pernah ingin memutuskan untuk segera kembali ke Indonesia karena saya tidak betah dengan makanan Amerika yang boleh dibilang untaste.
Satu hal yang saya kagumi di Amerika, negeri yang banyak memberi saya pelajaran untuk semakin mencintai negri saya Indonesia, negeri yang mengajari saya begitu banyak tentang makna Nasionalisme yang sebenarnya untuk negeri saya sendiri. Yah, semakin lama saya berada di negri paman sam tersebut, semakin rindu dan cinta saya kepada Indonesia. Hal yang boleh dibilang unik sebagai misal adalah tentang makanan fast food atau lebih kerennya dibilang junk food, seperti pizza,hamburger dan kroni-kroninya tadi. Di Amerika, makanan fast food harganya jauh lebih murah daripada makanan sehat seperti buah dan sayuran. Bayangkan saja, dengan 3 $, kita sudah bisa menikmati nikmatnya makanan-makanan cepat saji walaupun ada juga yang harganya mencapai puluhan dolar, tapi setidaknya, masih ada yang murah, walaupun di Indonesia, 3 dolar itu kurang lebih setara dengan 30ribu. Tetap sebuah ukuran yang mahal untuk sekedar makan. Bahkan, waktu saya masih di bangku kuliah, di sebuah Universitas Negri di Semarang, makan dengan 2 ribu saja sudah cukup.
Walaupun makanan junk food begitu mahal, tapi itu masih jauh lebih murah dibandingkan makanan yang sehat seperti sayur-sayuran. Salah seorang dosen saya yang bernama Dr Krzic menjelaskan kepada saya bahwa harga makanan sehat, seperti sayuran, bahkan jauh lebih mahal dari makanan junk food . Hal ini disebabkan karena Amerika sendiri mengimpor berbagai sayuran dari negara lain. Wilayah Amerika memang tidak sesubur Indonesia. Sekali lagi, kita harus bersyukur dengan hidup di Indonesia yang subur.
Kondisi seperti ini tentu saja berkebalikan dengan kondisi di Indonesia. Bayangkan saja, di Indonesia harga makanan fast food malah lebih mahal daripada makanan-makanan yang sehat. Sebagai contoh konkrit, harga nasi pecel di pinggir jalan biasanya adalah 3 ribu rupiah, atau sedikit lebih mahal, tapi ini masih terlalu murah jika dibandingkan dengan makanan fast food ala Amerika. Yang harganya mencapai puluhan ribu. Meskipun demikian, restoran-restoran yang menjanjikan kenaikan kadar kolesterol tersebut, masih saja banyak digemari masyarakat Indonesia. Apalagi orang-orang dengan taraf ekonomi tinggi. Tidak afdhol jika tidak pergi ke restoran-restoran tersebut setiap hari. Dan akhirnya, peringkat- penyakit jantung serta penyakit degeneratif lainnya malah meningkat dengan drastis setiap tahunnya.
Ternyata, efek dari kehidupan yang tidak ber-nasionalisme terhadap Indonesia juga mampu memberi efek yang buruk bagi kesehatan. Akhirnya, semakin banyak restoran cepat saji yang mampu menyedot minat masyarakat Indonesia dan menggeser posisi makanan khas Indonesia yang lebih berkualitas seperti nasi pecel.
Jika rasa nasionalisme terhadap kuliner Indonesia mulai menipis akibat migrasi masyarakat ke restoran cepat saji, maka sangatlah mungkin suatu ketika akan terjadi pergeseran posisi di mana makanan cepat saji menjadi pilihan utama masyarakat yang ke-barat-baratan. Akibatnya, kuliner asli Indonesia tersisihkan.
Bahkan bisa jadi, kuliner Indonesia yang tersisihkan tersebut nantinya akan diakui oleh negara lain sebagai kuliner negara tersebut. Hal ini tentu saja sangat memungkinkan, batik, tari pendet, reog ponorogo sudah di ambil oleh negara lain dan diakui sebagai budaya mereka. Lalu, tidakkah muncul kekhawatiran kita terhadap kuliner Indonesia. Boleh jadi kita baru akan merasa memilikinya ketika kuliner-kuliner Indonesia, sudah dicuri dan diakui negara lain sebagai kuliner negara mereka.. Jika sudah demikian, apa yang bisa kita perbuat? Penyesalankah? Atau hanya menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang biasa saja. Semuanya tergantung sikap kita para warga negara dalam melestarikan apapun milik Indonesia, tidak terkecuali kuliner Indonesia yang begitu beragam dari Sabang hingga Merauke.
Hal lain yangs seringkali saya abaikan dan saya baru merasakan kebanggaan yang luar biasa adalah mengenai batik Indonesia. Waktu itu saya tengah sendirian menikmati makan siang di Jefferson Dining hall, dengan pakaian sederhana saya, atasan putih yang saya beli di pasar Juwana, kerudung biru tua dari pasar Johar serta rok batik bermotif sederhana asli pekalongan, Indonesia. Setiap hari saya menganggap itu adalah pakaian yang biasa-biasa saja. Tidak ada istimewanya. Yang penting saya merasa nyaman memakainya. Hingga kejadian siang itu menyadarkan saya, bahwa memang saya harus lebih banyak bersyukur. Ketika saya selesai makan siang dan keluar Jefferson dining hall, hendak menuju Scot Quadrangle untuk kelas Pronounciation Lab saya, tiba-tiba sekitar lima meter di depan pintu Jefferson dining hall, saya dicegat (dihadang) oleh seorang bule perempuan tulen amerika. Saya hanya bisa menerka kalau dia adalah mahasiswa Ohio juga. Seperti saya. Walaupun saya belum pernah melihatnya. Sambil menghadang jalan saya, spontan dia menjerit kecil di depan saya sambil berkata ”your skirt is so pretty” katanya. Kontan saja saya hanya melongo. Masih kaget dengan munculnya sang bule yang tiba-tiba. Lalu saya hanya mengucapkan terimakasih atas pujiannya. Tidak hanya sampai disitu, cewek bule itu juga menanyakan di mana saya membeli rok yang di mata dia ”sangat pretty” tersebut. Saya hanya mampu bilang jujur dan dengan perasaan bangga ”I bought it in Indonesia” jawab saya dengan berjuta rasa bangga yang tiba-tiba muncul di dada. Saya masih melihat jelas perasaan ”excited” sekaligus rasa kecewa dari sang bule. Excited dengan rok batik saya, dan kecewa karena negaranya, Amerika tidak punya yang serupa atau sejenisnya, sepertinya ia perlu terbang ke Indonesia dulu untuk bisa mendapatkannya.
Orang Amerika memang selalu berusaha terbuka, jika mereka menyukai sesuatu, mereka akan menyampaikannya, itulah sebabnya saya merasa sangat bangga karena si bule menyukai motif rok batik yang tidak akan pernah ia temukan di negaranya. Negara yang katanya paling adidaya. Tapi, batik mereka tidak punya.
Di Amerika, memang sedang ”ngetrend-nya” rok sejenis ”batik”. Mungkin bisa dibilang itu adalah batik Amerika. Walaupun sejatinya batik itu cuma ada di Indonesia. Tapi, bisa dibilang, model yang mereka anggap ”batik” itu, kalau saya pribadi menilai lebih mirip pakaian pantai yang sering dijual di kota Bali. Tidak ada unsur batiknya sama sekali, bahkan hanya terkesan abstrak saja. Itulah sebabnya saya tidak begitu heran ketika si bule begitu kagum dengan batik saya. Batik khas Indonesia, yang memang tiada duanya. Dan sekali lagi, saya benar-benar bangga dengan produk Indonesia.
Sejak saat itu, saya selalu memakai pakaian batik saya ke berbagai event dengan perasaan bangga. Walaupun bukan baru, walaupun bentukknya sederhana, walaupun harganya juga standar-standar saja, tapi ada kebanggan lain, kebanggaan yang begitu melekat di hati saya, dan semakin memupuk rasa cinta saya pada negara yang memproduksinya. Indonesia.
Selama di negeri orang, saya sempat merenung ”Kok bisa ya, Amerika (saya selalu mencontohkan Amerika, karena selama ini negara inilah yang menjadi centre mode dan kebudayaan yang mampu melunturkan budaya ketimuran) bisa menjadi negara yang begitu maju? padahal tanahnya gersang, dan bukan pusat perminyakan seperti di Dubai maupun negara-negara timur tengah”. Ditambah lagi budaya orang-orang Amerika yang begitu mengejutkan saya. Gemar berpesta dan budaya free sex. Hampir setiap akhir minggu di kampus saya- Ohio University-Athens, Amerika, itu adalah waktu untuk para mahasiswa berpesta pora dan minum-minuman keras.
Sekarang saya sudah berada di pangkuan ibu pertiwi, Indonesia. Dengan semangat dan rasa kecintaan terhadap Indonesia yang begitu mengakar. Negeri adidaya telah mengajarkan saya banyak hal tentang mencintai dan memberi. Yang saya bisa usahakan sekarang adalah tentang bagaimana saya akan bisa memperbaiki keadaan Indonesia agar semakin baik. Saya hanya bisa berusaha menjadi contoh, serta berusaha mencintai Indonesia dari beberapa sudut pandang, dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Tapi masih belum cukup. Satu lidi tidak akan berarti, tidak akan bisa menyapu bersih kotoran di halaman, jika ia tidak menjadi satu. Dalam hal ini, saya sepenuhnya menyadari bahwa perubahan hanya bisa sepenuhnya terjadi, jika kita- khususnya para generasi muda bersatu, jika semua komponen negri ini mengepalkan tangan bersama, demi perubahan indonesia menuju yang lebih baik. Tiba-tiba saya teringat sebuah kalimat yang ada di pita patung burung garuda yang ada di lemari tua dan usang di rumah saya. Kalimat itu berkata ”Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya ”berbeda-beda” tetapi tetap satu juga. Saya baru bisa merasakan maknanya yang dalam. Kenapa tidak dari jauh-jauh hari?
Pertanyaanyya sekarang adalah apakah harus ke luar negri dulu untuk menumbuhkan rasa cinta kepada Indonesia. Jawabannya tentu saja tidak. Tapi boleh jadi pergi ke negri asing bisa menjadi perbandingan. Bagi siapapun ia, asalkan bisa membawa sikap dan tidak terseret arus budaya luar, hal tersebut tidak jadi masalah. Yang menjadi masalah adalah jika mereka yang belajar di negeri jauh, justru terseret, terbawa arus budaya negeri lain, terpesona oleh segala kemajuan dan apapun yang ditawarkan oleh negri asing. Dan akhirnya melupakan tanah air. Jadi yang terbaik, di manapun kita, menumbuhkan kecintaan kepada Indonesia adalah sesuatu hal yang sangat mungkin. Di manapun kita!.
Sikap nasionalisme, rasa cinta kepada Indonesia bisa ditumbuhkn dengan subur dengan cara belajar dari pengalaman, boleh jadi pengalaman sendiri, ataupun pengalaman orang lain. Jadi tidak ada alasan untuk tidak mencintai apapun tentang budaya Indonesia dan hal-hal positif lain di negeri kita tercinta.
Dan akhirnya,saya hanya berani mengatakan bahwa ”saya cinta apapun tentang indonesia”. Bagaimana dengan anda?













By: Sri Hindriyastuti
Wisma Salsabila Banjarsari 4F tembalang Semarang-Jawa tengah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SAYA dan EWB (Education Without Border) 2011 - Dubai d Abu Dhabi - UAE 27-31 March 2011

MERAJUT dengan HATI ^_^

PROSES PEMBUATAN TEMPE AL-AMAN (COCOK UNTUK NEGARA 4 MUSIM).